PERPISAHAN SIR ALEX FERGUSEN WUJUD PUNCAK KEBAHAGIAAN SEORANG GURU
Minggu, 13 Mei 2013, kemarin, insan
gibol (gila bola) di seluruh belahan bumi ini merasa berpisah dengan pelatih
klub Manchester United, Sir Alex Ferguson. Pelatih yang telah berhasil memoles tim
berjuluk Setan Merah ini sebagai tim hebat di Inggris, daratan Eropa, bahkan
dunia. Perpisahan pelatih asal
Skotlandia ini benar-benar menjadi ‘pensiun yang manis’ dan dapat menjadi
contoh puncak kebahagiaan seorang guru ketika menghadapi masa pensiun.
Selama 26 tahun, pelatih yang
sering disapa Fergie itu telah mendidik anak asuh di klubnya dengan telaten dan
kerja keras sehingga memberikan panen juara yang melimpah. Kurun waktu 26 tahun
itu bukanlah singkat, tetapi cukup panjang. Hampir sama dengan rata-rata
pengabdian guru mengajar di sekolah. Bedanya, guru lebih aman eksistensinya di
sekolah sampai menunggu masa pensiun, sedangkan bagi Fergie untuk menempati
posisi pelatih dalam kurun waktu itu sangatlah rentan. Bahkan,tidak jarang
ditemui pelatih bola yang hanya berumur satu musim karena gagal mempersembahkan
gelar untuk klubnya.
Perpisahan Fergie merupakan contoh
puncak kebahagiaan seorang guru di akhir kariernya karena ia telah
mempersembahkan kemenangan dan gelar terbaik kepada klubnya, bahkan masyarakat
pecinta bola umumnya. Membicarakan puncak kebahagiaan, rasanya, teringat konsep
yang disampaikan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Beragama. Dalam buku itu disebutkan bahwa kebahagiaan
seseorang terletak pada kemauannya untuk memberi. Seorang atlet akan merasa
bahagia jika mampu mempersembahkan emas untuk negara. Contoh yang lain, pohon akan bahagia jika ia mampu menghasilkan
buah yang nantinya akan dimakan oleh manusia. Demikian juga binatang. Sapi,
misalnya, ia akan bahagia jika memiliki tubuh gemuk dan sehat sehingga
menyenangkan manusia. Bahkan, biasanya, sapi akan meneteskan air mata
kebahagiaan ketika ia akan disembelih saat Idul Kurban.
Sama rasanya dengan guru. Ia akan
bahagia ketika siswa yang diajar dalam kelas mampu menyerap penjelasan yang
disampaikan dengan baik kemudian hasil tugasnya juga sesuai keinginan. Rasanya,
guru juga akan bahagia jika anak didiknya telah menjadi orang sukses sebagai
dosen, pakar/ahli, rektor, anggota
dewan, kyai, menteri, dan selebihnya.
Untuk mencapai kebahagiaan itu,kuncinya
adalah bisa mempersembahkan prestasi, ide kreatif, dan menginspirasi siswa
menjadi orang sukses. Prestasi barangkali bisa saja diukur dari jumlah piala
yang dihasilkan anak asuhnya dalam menjuarai lomba. Sekolah akan bangga jika
bisa memamerkan banyak piala di etalase yang bisa dilihat siapa pun yang
bertamu. Selain prestasi, bisa juga berupa ide kreatif untuk sekolah. ide ini
bisa berupa apa saja yang bermanfaat, misalnya menciptakan suasana sekolah
alam, memunculkan kegiatan baru, menjalin kerja sama dengan pihak luar, ataupun
usul-usul cerdas manajemen SDM guru. Guru juga akan bahagia jika dapat
menginspirasi siswa menjadi siswa kreatif dan produktif. Ciri siswa ini,
biasanya, secara aktif-ikhlas memberikan kontribusi untuk kemajuan sekolah
tanpa harus disuruh apalagi menunggu diberi sanksi oleh guru. siswa seperti ini
adalah yang diharapkan dalam pendidikan berkarakter.
Untuk mencapai kebahagiaan itu,
guru memerlukan kerja cerdas, ikhlas, dan istikomah sepanjang kariernya. Ia
perlu merasa “selalu muda” untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pengajar.
Rasanya, banyak dijumpai guru yang merasa “sudah tua” sehingga gairah untuk
belajar, mendidik, maupun berperan aktif terasa berkurang. Fergie pelatih MU di
atas contohnya,ia pensiun pada usia 71 tahun, tetapi tetap mampu
mempersembahkan trofi kejuaraan untuk timnya. Kompetensi dan profesionalismenya
mampu mengalahkan pelatih-pelatih lain yang berusia lebih muda. Barangkali itu
karena Fergie merasa “selalu muda”.
Usia seseorang memang memengaruhi
fisiknya. Akan tetapi, belum tentu mengurangi kemampuan otaknya sebab otak
manusia itu bergantung pada frekuensi pemakaiannya. Semakin otak seseorang itu
dipakai dengan belajar dan mengajar, akan semakin terasah kemampuannya dan
menghasilkan pengetahuan berlipat. Sebaliknya, jika otak tidak dipakai untuk
belajar, sistem kerja otak akan melemah dan mudah mendatangkan masalah pikun. Sebagai
contoh, para pakar atau profesor rata-rata berusia tua, tetapi kecerdasannya
tidak berkurang, malahan bisa menceritakan pengalaman-pengalaman masa lalunya
dengan menarik. Ini karena orang tua memiliki ‘kecerdasan yang mengkristal’
yang diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman masa lalunya yang tersimpan
secara baik dalam memorinya. Berbeda dengan
usia muda yang memiliki ‘kecerdasan yang mengalir’ karena memang kecepatan
kerja otaknya masih bisa dipacu dengan cepat untuk menyerap pengetahuan baru.
Seorang guru yang ingin memeroleh
puncak kebahagiaan di akhir kariernya, kuncinya adalah bisa mempersembahkan
yang terbaik untuk sekolah. Ia bisa saja mencapainya dengan mempersembahkan
prestasi atau keahliannya sehingga hasil karyanya akan menjadi kenangan manis
dan membahagiakan semua orang yang ditinggalkannya. Bukan sebaliknya, malah
diharap-harap kepergiannya. Dimuat pada Suara Guru (online)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar