Kamis, 20 Juni 2013

guru bisa bahagia layaknya Ferguson


PERPISAHAN SIR ALEX FERGUSEN WUJUD PUNCAK KEBAHAGIAAN SEORANG GURU
Minggu, 13 Mei 2013, kemarin, insan gibol (gila bola) di seluruh belahan bumi ini merasa berpisah dengan pelatih klub Manchester United, Sir Alex Ferguson. Pelatih yang telah berhasil memoles tim berjuluk Setan Merah ini sebagai tim hebat di Inggris, daratan Eropa, bahkan dunia. Perpisahan pelatih  asal Skotlandia ini benar-benar menjadi ‘pensiun yang manis’ dan dapat menjadi contoh puncak kebahagiaan seorang guru ketika menghadapi masa pensiun.
Selama 26 tahun, pelatih yang sering disapa Fergie itu telah mendidik anak asuh di klubnya dengan telaten dan kerja keras sehingga memberikan panen juara yang melimpah. Kurun waktu 26 tahun itu bukanlah singkat, tetapi cukup panjang. Hampir sama dengan rata-rata pengabdian guru mengajar di sekolah. Bedanya, guru lebih aman eksistensinya di sekolah sampai menunggu masa pensiun, sedangkan bagi Fergie untuk menempati posisi pelatih dalam kurun waktu itu sangatlah rentan. Bahkan,tidak jarang ditemui pelatih bola yang hanya berumur satu musim karena gagal mempersembahkan gelar untuk klubnya.
Perpisahan Fergie merupakan contoh puncak kebahagiaan seorang guru di akhir kariernya karena ia telah mempersembahkan kemenangan dan gelar terbaik kepada klubnya, bahkan masyarakat pecinta bola umumnya. Membicarakan puncak kebahagiaan, rasanya, teringat konsep yang disampaikan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dalam Psikologi Beragama. Dalam buku itu disebutkan bahwa kebahagiaan seseorang terletak pada kemauannya untuk memberi. Seorang atlet akan merasa bahagia jika mampu mempersembahkan emas untuk negara. Contoh yang lain,  pohon akan bahagia jika ia mampu menghasilkan buah yang nantinya akan dimakan oleh manusia. Demikian juga binatang. Sapi, misalnya, ia akan bahagia jika memiliki tubuh gemuk dan sehat sehingga menyenangkan manusia. Bahkan, biasanya, sapi akan meneteskan air mata kebahagiaan ketika ia akan disembelih saat Idul Kurban.  
Sama rasanya dengan guru. Ia akan bahagia ketika siswa yang diajar dalam kelas mampu menyerap penjelasan yang disampaikan dengan baik kemudian hasil tugasnya juga sesuai keinginan. Rasanya, guru juga akan bahagia jika anak didiknya telah menjadi orang sukses sebagai dosen, pakar/ahli, rektor,  anggota dewan, kyai, menteri, dan selebihnya.
Untuk mencapai kebahagiaan itu,kuncinya adalah bisa mempersembahkan prestasi, ide kreatif, dan menginspirasi siswa menjadi orang sukses. Prestasi barangkali bisa saja diukur dari jumlah piala yang dihasilkan anak asuhnya dalam menjuarai lomba. Sekolah akan bangga jika bisa memamerkan banyak piala di etalase yang bisa dilihat siapa pun yang bertamu. Selain prestasi, bisa juga berupa ide kreatif untuk sekolah. ide ini bisa berupa apa saja yang bermanfaat, misalnya menciptakan suasana sekolah alam, memunculkan kegiatan baru, menjalin kerja sama dengan pihak luar, ataupun usul-usul cerdas manajemen SDM guru. Guru juga akan bahagia jika dapat menginspirasi siswa menjadi siswa kreatif dan produktif. Ciri siswa ini, biasanya, secara aktif-ikhlas memberikan kontribusi untuk kemajuan sekolah tanpa harus disuruh apalagi menunggu diberi sanksi oleh guru. siswa seperti ini adalah yang diharapkan dalam pendidikan berkarakter.
Untuk mencapai kebahagiaan itu, guru memerlukan kerja cerdas, ikhlas, dan istikomah sepanjang kariernya. Ia perlu merasa “selalu muda” untuk melaksanakan kewajibannya sebagai pengajar. Rasanya, banyak dijumpai guru yang merasa “sudah tua” sehingga gairah untuk belajar, mendidik, maupun berperan aktif terasa berkurang. Fergie pelatih MU di atas contohnya,ia pensiun pada usia 71 tahun, tetapi tetap mampu mempersembahkan trofi kejuaraan untuk timnya. Kompetensi dan profesionalismenya mampu mengalahkan pelatih-pelatih lain yang berusia lebih muda. Barangkali itu karena Fergie merasa “selalu muda”.
Usia seseorang memang memengaruhi fisiknya. Akan tetapi, belum tentu mengurangi kemampuan otaknya sebab otak manusia itu bergantung pada frekuensi pemakaiannya. Semakin otak seseorang itu dipakai dengan belajar dan mengajar, akan semakin terasah kemampuannya dan menghasilkan pengetahuan berlipat. Sebaliknya, jika otak tidak dipakai untuk belajar, sistem kerja otak akan melemah dan mudah mendatangkan masalah pikun. Sebagai contoh, para pakar atau profesor rata-rata berusia tua, tetapi kecerdasannya tidak berkurang, malahan bisa menceritakan pengalaman-pengalaman masa lalunya dengan menarik. Ini karena orang tua memiliki ‘kecerdasan yang mengkristal’ yang diperoleh dari pengetahuan atau pengalaman masa lalunya yang tersimpan secara baik dalam memorinya.  Berbeda dengan usia muda yang memiliki ‘kecerdasan yang mengalir’ karena memang kecepatan kerja otaknya masih bisa dipacu dengan cepat untuk menyerap pengetahuan baru.
Seorang guru yang ingin memeroleh puncak kebahagiaan di akhir kariernya, kuncinya adalah bisa mempersembahkan yang terbaik untuk sekolah. Ia bisa saja mencapainya dengan mempersembahkan prestasi atau keahliannya sehingga hasil karyanya akan menjadi kenangan manis dan membahagiakan semua orang yang ditinggalkannya. Bukan sebaliknya, malah diharap-harap kepergiannya.  Dimuat pada Suara Guru (online)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar